Beranda | Artikel
Isteri yang Beriman Tidak Meminta Cerai Kepada Suaminya
Sabtu, 5 Februari 2005

ISTERI YANG BERIMAN TIDAK MEMINTA CERAI KEPADA SUAMINYA.

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Jika seorang isteri bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak akan meminta cerai kepada suaminya selamanya, hingga seandainya orang tuanya memerintahkan demikian kepadanya.

Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu anhu, bahwa dia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَـا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mendapatkan aroma Surga.’”[1]

An-Nasa-i meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfu’:

اَلْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.

Wanita-wanita yang meminta cerai, mereka adalah wanita-wanita munafik.”[2]

Al-Muntazi’aat ialah wanita yang menceraikan dirinya sendiri dengan hartanya dari pelukan suaminya tanpa kerelaannya.

Dengan demikian, seandainya dia mentaati kedua orang tuanya untuk meminta cerai dari suaminya, maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Semestinya mereka mengetahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِبَشَرٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.

Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.”[3]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnote
[1]. HR. At-Tirmidzi (no. 1187) kitab ath-Thalaaq wal Li’aan, dan ia menilainya sebagai hadits hasan, Abu Dawud (no. 2226) kitab ath-Thalaaq, Ibnu Majah (no. 2055) kitab ath-Thalaaq, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (VII/ 100).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 1186) kitab ath-Thalaaq wal Li’aan, Abu Dawud (no. 9094), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahiihah (no. 632).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 4340), kitab al-Maghaazii, Muslim (no. 1840), kitab al-Imaarah, an-Nasa-i (no. 4205), kitab al-Bai’ah, Abu Dawud (no. 2625), Ahmad (no. 623). Al-Bukhari meriwayatkan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan khusus, lalu beliau mengangkat seseorang dari Anshar (sebagai pemimpinnya) dan memerintahkan mereka agar mentaatinya. Ia marah dan mengatakan: ‘Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kalian untuk mentaatiku?’ Mereka menjawab: ‘Ya.’ Ia berkata: ‘Kumpulkanlah untukku kayu bakar.’ Mereka pun mengumpul-kannya, lalu dia berkata: ‘Nyalakanlah api.’ Mereka pun menyalakannya.’ Ia mengatakan: ‘Masuklah ke dalam api itu.’ Maka mereka sedih, dan satu sama lain berpegangan tangan seraya mengatakan: ‘Kita lari kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka tetap demikian hingga api padam, lalu kemarahannya reda. Ketika sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‘Seandainya mereka memasukinya, maka mereka tidak keluar darinya hingga hari Kiamat; ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.’”


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1335-isteri-yang-beriman-tidak-meminta-cerai-kepada-suaminya.html